Author Archives: maulsyahidah

Memilih Antara Dua Hati

Herwan Gunawan
QC Indonesia

Memilih memang pekerjaan gampang-gampang susah. Terkadang menjadi mudah ketika ada yg lebih baik dan lebih nyaman untuk dipilih. Akan tetapi, kadang juga sulit ketika kedua pilihan sama baiknya, sama pentingnya, sama-sama berat untuk tidak dipilih.

Memilih istiqomah dalam dakwah itu bukan pilihan yang mengharuskan kita istikhoroh karena dakwah adalah gaya hidup seorang yang di hatinya ada iman, karena dakwah adalah jalan untuk meraih cinta dariNya. Tiada pilihan lain selain beristiqomah di jalan dakwah.

Namun, tetap saja ada pilihan-pilihan yang selalu saja menjadi dilema pada setiap jiwa. Istiqomah yang harus dijawab dengan keteguhan. Apakah harus memilih dakwah ataukah karir, dakwah ataukah kuliah, dakwah ataukah keluarga. Maka ketahuilah, kalaupun ada yg memilih selain jalan dakwah, pastilah itu adalah jalan yang akan masuk pada pusaran kehidupan pribadinya, memanjakan dirinya. Mungkin ia akan puas dengan karirnya, bangga dgn nilai kelulusan kuliahnya, atau tenang dgn gelimang rupiah yg berderet di saldo rekeningnya. Mungkin juga ia akan nyaman dengan kehidupan harmonis keluarga dan sanak familinya.

Namun,
apakah kita tidak ingin masuk kepada pusaran yg lebih besar?
Pusaran yang bukan hanya berkutat pada diri semangat sendiri, sukses sendiri, baik sendiri, harmonis sendiri, lulus sendiri.

Tidakkah memiliki keinginan untuk menyebarkan virus  sukses berjamaah-yang dengan mengantarkannya adalah jalan dakwah?

Di jalanMu aku memilih istiqomah
di jalan Dakwah…

Hamasah wa Istiqomah..

Emoticon Penipu Hati

-Catatan Harian Herwan Gunawan-

Kadang kita seolah simpati atau merasa sedih. Senyum yang menjadi ibadah dalam syariat hanya tergambar dengan emoticon. Teknologi kadang membuat hidup menjadi instan. Senyum,menangis, tertawa,marah, hampir semua ekpresi manusia hanya terwakili oleh emoticon. Boleh jadi ketika ada nasihat yang menggugah dan merubah,  emoticon-lah yang menangis. Akan tetapi, mungkin sesungguhnya hati tidak menangis karena sulit di tembus cahaya Allah. Senyum yang merupakan ekpresi kebahagiaan bisa jadi hanyalah topeng jika yang tersenyum hanya emoticon, bukan hati yg memancarkan wajah yg sumringah bahagia.

Semua ekpresi yg berasal dari hati pasti akan sampai ke hati.

Sebaliknya jika hanya emoticon yg hanya berfungsi sebagai penghias tulisan, bukan simbol dr lukisan hati yg tulus, itu akan tertolak oleh tabir qolbu manusia.

Hati hanya bisa di sentuh oleh hati.

Semoga bermanfaat

Merusak Generasi dengan Serius

Oleh Maulina Nugraheni

Go Dong iSPS® ke-50

Sejatinya saya agak bosan mengulang-ulang pembahasan ini: pentingnya pemuda sebagai asset bangsa, pasang badan untuk pembinaan kepemudaan, dll dll. Akan tetapi, mau bgaimana lagi. Tema-tema seputar itu selalu menggelitik untuk saya tuliskan. Semoga ada satu-dua hal yg baru meskipun tiga puluh sampai lima puluh lainnya adalah hal yang sudah pernah saya tulis berulang kali. Hahaha… #ups

Inspirasi tulisan kali ini berawal dari pembicaraan khas ala ibu-ibu arisan, sore ini. Maraknya pemberitaan ISIS dan respon masyarakat yang juga mulai marak menarik untuk dibahas. Di kota saya, Kebumen, sebuah kota kecil di Jateng Selatan, hampir di setiap jalan protokol ramai dengan tulisan “Kami warga Kebumen menolak ISIS”. Heran deh, kayak ada yg nawarin aja, kok sampe nolak-nolak gituh. Hihi…

Isu penolakan ISIS oleh masyarakat ini bagus karena masyarakat waspada. Akan tetapi, di sisi lain, ibu-ibu arisan pun kasak kusuk khawatir karena mulai banyak generalisasi terhadap isu ISIS.
Opo-opo dianggep ISIS, ngaji sithik, radikal. Rajin ke masjid dicap pengikut ISIS, baca Al Quran sambil nunggu kereta,diintrogasi macem-macem. Aduhai ISIS, marai sumuk tenan, sampeyan.

Thus, sadar or not, kata ibu-ibu di arisan, masyarakat kita sedang dididik untuk alergi dengan pengajian, mesjid, dan ngaji Qur’an. Orangtua mulai apatis jika anaknya ikut kajian ini itu. Bukannya nge cek dulu tapi langsung main larang.
Beberapa juga mulai khawatir jika anaknya jadi rajin ke masjid, memelihara jenggot, atau bagi anak gadisnya, tampak rapi dalam berhijab dan memakai kaos kaki.

Ini kejadian sungguhan. Saya punya teman perempuan yang dimaki-maki guru nya karena dia memakai kaos kaki ketika ke rumahnya. Dituduh ISIS, radikal, sesat, dsb. Apalah salah kaos kaki dituduh begitu? Ckckck kasian…

Sebaliknya, orangtua justru nyaman-nyaman saja kalau anak-anaknya malam mingguan dijemput atau didatangi pacarnya, makai jilbab gaooll nlekak nlekuk, atau rajin shopping ke mall dan perawatan kecantikan.

Iyo-iyo, tentunya yang baca Go Dong adalah orang-orang yang gak gitu juga keleess.. Aye cuman mau sampaikan kekhawatiran perspektif ibu-ibu arisan. Bisa dianggap serius ataupun tidak serius. Tapi yang jelas, nuansa ini sudah mulai terbangun di negeri kita tercinta. Mungkin bukan kita, tapi masyarakat sekitar kita.

Jadi ingat kuliah singkat di Teras Kota Tangsel bersama calon doktor psikologi pendidikan, teman sekaligus saingan saya yang asli Jogja, haha, Isnan Hidayat namanya, dia bercerita tentang teori Tripusat Pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara. Isinya adalah bahwa pendidikan bagi seorang anak harus melibatkan 3 pusat pendidikan yakni keluarga, sekolah, dan lingkungan.

Dalam keterangannya yang saya tangkap (kadang saya agak lola nangkep sesuatu yg baru, jd klo salah tangkap, mohon carikan tangkapan lain yg benar), jika salah satu dari tiga elemen tersebut: keluarga, sekolah, atau lingkungan tak berfungsi, maka kualitas pendidikan anak2 kita juga dipertanyakan bin dikhawatirkan.

Pendidikan di keluarga saat ini mulai digantikan dengan baby sitter, les, dan bimbel. Institusi bernama sekolah hingga detik ini belum banyak yang bisa menjawab tantangan pendidikan itu sendiri (opo wes, tantangannya?). Di pihak lain, lingkungan juga sedang dirusak pemahamannya dengan sesuatu yang datang tiba2 dan seolah mengancam segala-galanya, dibuat panik, dan tak ada penyeimbang. Padahal sebelumnya, lingkungan tempat generasi ini tumbuh juga sudah sakit kronis.

Lalu, mau jadi apa anak-anak kita? (jadi orang dong, gak mungkin nyemot)

Bagi kami, ibu-ibu arisan, hal seperti ini sudah merupakan upaya untuk merusak generasi dengan serius, teramat serius. Serius, sistematis, tapi soft.
Maka apalah arti kegelisahan para ibu-ibu yang rajin datang arisan. Bisa jadi kami para ibu akan siap siaga menjaga ketahanan keluarga, menjaga anak-anak kami. Tapi generasi-generasi emas bangsa ini, butuh dari sekedar keluarga.
Maka plis, jika kami para ibu siap pasang badan untuk menyelamatkan anak-anak negeri, kami juga mengajak semuanya berpikir lebih jauh tentang nasib anak-anak kita ke depan.
Kita musti lebih serius lagi melakukan pembinaan-pembinaan positif untuk anak-anak kita. Biarlah mereka merusak generasi dengan serius, kita hadapi dengan bekerja lebih serius lagi dan tawakkal ‘alallah.
Demi anak-anak kita, demi anak cucu kita nanti.

iSPS®
10 April 2015

Pasang Badan: Membangun Sinergi Pembinaan -Catatan LSC #3 Kebumen-

@Maulina_N
Master Coach Cakep Indonesia

Anda tau apa yg sering bikin para ortu gak ngijinin anak2nya ikut kegiatan yg bukan dr sekolah?
Bukan problem di kegiatannya yang gak menarik atau meragukan. Selama kegiatannya bagus untuk pengembangan karakter anak, orangtua biasanya udah klik duluan.
Lalu apa problemnya?

Komunikasi.

Entah mengapa saya selalu yakin bahwa orang tua itu paham mana kegiatan yg kredibel dan kagak kredibel. Mana yg serius buat pengembangan karakter, mana yang main2.
Kasus yang saya hadapi di LSC #3 ini-komunikasi ke ortu-sebenernya bukan yang pertama. Ini kesekian kali. Tapi menjadi spesial karen saya musti turun langsung ke ortu calon peserta, mempresentasikan lsc secara gamblang, dan mengenalkan diri sebagai pedamping peserta dari Kebumen ke Lembang.

Jika ada yang belum tau LSC, Leadership Survival Camp, kegiatan ini adalah camp untuk melatih leadership dengan langsung menyentuhkan peserta dengan alam. Tapi kata kuncinya bukan di camp maupun leadershipnya (nah loh), akan tetapi pada kata SURVIVAL.
Peserta melakukan survival bahkan sejak pertama kali mendaftar. Ini part yang paling paling paling saya suka. Mulai dari ijin ke orangtua (wajib), ijin ke sekolah, mencari dana untuk perjalanan dan registrasi, hingga mengurus transportasi. Bagi yang lokasinya jauh seperti Kebumen, Malang, Lampung, bakan Sulawesi dan NTT (peserta yang pernah gabung di LSC),  jauhnya jarak juga memberikan efek lain terhadap perijinan dan pendanaan.

When there is a will, there is a way.
LSC membuktikan.
Tidak semua anak akan menyanggupi hadir di LSC dan segala keribetan dan keributan persiapannya.
Maka, anak2 yang menyambut seruan ini secara langsung, mereka lolos survival tahap pertama. Mereka tahu konsekuensi survival di tahap selanjutnya.

Survival selanjutnya adalah meminta izin ortu sembari juga menjalankan fundrising untuk membiayai LSC secara mandiri. Kami di Neoramdhanz Indonesia, Kebumen senantiasa memback up penuh pelajar2 yang menyatakan ingin ikut LSC. Kami coaching berkala untuk perizinan dan pendanaan, membantu mereka membuat planning pemasukan dana dan mengevaluasi pecapaian.

Pada anak-anak yang emang punya problem komunikasi, ijin ortu bisa jadi kendala terbesar. Maka, seringkali kami bantu dengan bermain peran cara mengkomunikasikan  apa yang mereka inginkan (ikut lsc) ke orangtua mereka. Orangtua yang sudah kenal dengan kami yang sehari-hari membersamai mereka di komunitas, biasanya akan langsung acc meskipun Sang Anak terbata-bata menjelaskan LSC. Tinggal sebut “diajak mbak ….” maka semuanya beres 😀

LSC kali ini kami dapatkan anak yang masih sulit mengkomunikasian ide dan orangtua yang kritis. Akhirnya, selain menghadap waka kesiswaan sekolah mereka, kami juga mengunjungi orangtua mereka. Waka kesiswaan dan orangtua mereka yang meminta langsung kami untuk bertatap muka. Maybe they wants to know siapa kami atau sekedar memastikan semua aman.

Adakah yang mengkeret atau kalau ada kepsek atau ortu binaan yang memanggil atau meminta Anda untuk menemui mereka secara langsung?

Saya pernah takut, taaakuuutty sekali ketika seorang Ayah dari binaan, selepas binaan kami pulang latihan nasyid, tiba2 menelepon dan dengan dingin berkata
“Mbak maul, ba’da maghrib ke rumah ya. Saya ingin ketemu”
Datar, tanpa ekspresi. Dinginnya merasuk meski jarak rumah kami 1,5 km.
Selepas sholat maghrib, berkali-kali rabithah saya lantunkan untuk Sang Bapak sembari menepis segala prasangka. Di perjalanan, badan saya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena takut bukan main. Sang Bapak terkenal galak pake beuuuttt…. Tapi saya tau, saya musti hadapi ini tanpa bisa mundur. Saya harus bertanggungjawab jika dianggap bersalah. P.A.S.R.A.H.
Sesampai d rumahnya, Sang Bapak menyambut saya ramah tapi dingin (nahloh).
Ibu dan anaknya dipanggil. Saya siap diadili.
Dan beberapa saat kemudian tangis Sang Bapak memecahkan kekakuan. Naah loh, saya ikut mrebes mili tapi juga linglung. Iki cerita kok jadi begini.
Di ending, Sang Bapak berkata sesuatu yang mmembuat dada saya sesak (meski lebih sesak klo pas asma kumat :P)
“Mbak, panjenengan sudah kami anggap sebagai orangtua kedua anak kami, —beep–waktu seakan berhenti berputar–ada yang mendesak jatuh di pelupuk mata–da aku mah apa atuhhh– Maka saya pasrahkan setelah ini, silakan anak saya dibimbing dan dinasihati”
Perjalanan pulang, mewek bombaaayyyy….. 😭😭😭

Selepas itulah saya yakin, justru setiap kali orangtua binaan kita memanggil kita secara khusus, maka bukan untuk komplain, tapi itu tanda bahwa mereka butuh sinergi dengan kita. Sinergi dalam membina anak-anak biologis mereka. Bahkan jikalau bisa, temui orangtua binaan2 segera dan jangan nunggu dipanggil. Perkenalkan diri baik-baik, dan komunikasikan visi pembinaan karakter dari kita. In syaa allah ortu pada seneng anak2nya ada yg ngerawat di luar sana.

Saya justru senang kalau anak2 meminta saya bertemu dg guru atau ortu mereka. Inilah kesempatan kita untuk bisa sinergi membangun tunas bangsa.
Sediakan waktunya, sesempit apapun waktu yang kita punya.

Malam ini, menjelang jaga malam, saya sempatkan menemui orangtua salah satu calon peserta LSC yang ingin bertemu dengan saya selaku pendamping mereka. Perasaan malas, ingin cancel, tetap ada. Tapi always gak tega kalo inget binar mata anak2 yg mharap saya ketemu ortu mereka.
Pukul 20.30 saya sampai drumah mereka. Begitu ibunya keluar dan bertatap muka, saya dan ibunya sama2 tertawa, bahkan saya sempat lari balik keluar pagar. Bagaimana tidak? Kami rekan di sebuah satuan kerja dan sering bertemu, cuma sama2 lupa namanya. Hahaha….

Segalanya lancar… Kami satu persepsi.. Banyak testimoni positif sejak anaknya ngotot ingin ikut LSC dan seperti biasa, kalimat yang selalu membuat saya berlinang air mata tapi juga sekaligus menguatkan.
“Kami titipkan anak kami, mohon dibimbing dan dibina. Semoga anak kami bisa jauh lebih baik”

Ah jadi rindu anak-anak komunitas yang ortunya rutin kami ajak bersinergi. Memanggil Sumbul, Arif, Iqbal, Arsyad, Fai, Didin, Alan, Bagus, Febrian, Munif, Subhan, Mujib, Zakky, Afif, Wahid, Ilham, Reza, dan Mega. Salam takzim dan titip rindu untuk Ayahanda dan Ibunda yah 🙂

Siap Pasang Badan, Membangun Sinergi Pembinaan Tunas Bangsa

Jualan yuuuk! Catatan LSC #3 dari Kebumen

@Maulina_N
Master Coach Cakep Indonesia

Ini kali ke tiga saya melakukan coaching kepada beberapa pelajar  di Kebumen yang tertarik ikut Leadership Survival Camp di d’Camp Lembang yang diadakan oleh Student Care.
Sayangnya, pengalaman LSC #1 dan #2 belum saya tuliskan. Kapan-kapan In Syaa Allah.
Hehehe..
Ini dalam rangka mengikuti nasihat seorang kawan di Pekanbaru sana, cc @bang adinova, untuk telaten menulis setiap kisah inpiratif dari pelajar-pelajar yang saya tangani. Okelah bang, aku ikuti nasihatmu 🙂

Di LSC #3 ini saya hampir saja sedih membayangkan saya tak membawa satu pun pelajar dr Kebumen yang ikut kegiatan ini. Sedih membayangkan LSC #3 berlalu tanpa kisah2 unik dan heroik mereka.
H-10, saya coba tawarkan langsung ke beberapa coachee nasyid, 2 orang pelajar kelas x merespon dengan begitu antusias. Saya heran, LSC #2 saya tawarkan ke mereka dengan menggebu, tapi mereka seolah-olah baru kenal LSC dari temannya di Sekolah Komunitas 2 pekan lalu. Mereka bilang, kmrn diceritain dan diajak sama F. Rasanya pengen teriak ke mereka “Helooo… Gw udah pernah ngajak kalian bulan desember laluuuu”
Tapi ah sudahlah, mungkin ini yg dimaksud dengan Rules of Engagement 🙂
Saya manfaatin aja semangatnya mereka. Bla bla bla singkat cerita nereka musti menyelesaikan beberapa pekerjaan utama: izin ke orangtua dan mencari dana minimal 350rb. Melihat profil mereka, izin ke ortu sebenarnya bukan hal mudah. Tapi sebagai coach, kita musti yakin akan kemampuan mereka kan?
Itung-itung membelajarkan mereka cara lobying ke ortu. Oke, cerita mereka kita simpan.

Kita beralih ke cerita ttg si F yang sudah ngomporin dua anak SMA ini.
Si F adalah anak SMK kelas 10, sejak LSC #1, doi udah kita tawarin ikut LSC. Adaaa aja alesannya. Tapi kita tau, sebenernya dia gak siap, terutama cari duitnya. Bagi pelajar Kebumen, LSC bisa dibilang gak murah meriah. Kami harus menyediakan dana 1 juta per orang untuk bisa berangkat. Dan si F ini mengkeret setiap kali berpikir jumlah uang. Doi brasal dr keluarga biasa, dan setiap hari ngonthel dari rumah ke sekolah yg berjarak skitar 3-4 km.
Pun LSC #3 ini, sepekan sebelum 2 coachee dari SMA kita support untuk berangkat, si F udah diajak habis2an sama coach nya. Tapi doi gak bergeming. Adaaa aja alasannya. Maka adanya 2 anak SMA yg pengen ikut, kita jadikan senjata.
Rules of Engagement kembali bekerja! Demi mendengar ada 2 temannya di komunitas nasyid daftar LSC #3, si F langsung bersedia bahkan bisa komporin 2 temanya yang lain untuk ikutan.

Singkat cerita, pengajuan proposal dan ijin ke ortu dan sekolah dilakukan. Ortu2 anak2 SMK ini tidak terlalu ribet. Jawabannya simple, ada yang langsung acc, ada juga yg acc dengan syarat sekolah mengijinkan. Agak beda dengan ortu dr anak SMA yg tadi, alasannya berputar2 mulai dari lokasi yang jauh, takut nanti di hutan ada banyak ular dan kegigit, dll (mesem, jadi inget buku Self Driving dan tulisan saya di Go Dong ISPS edisi pertama).

Di sekolah, anak2 SMK seperti biasa mendapat ujian. Mulanya kepsek acc dan ada biaya dr sekolah, akan tetapi, tetiba kepsek keluar kota dan disposisi tidak mengirimkan. Untugnya, 3 anak SMK ini memang dr awal sudah bersiap mendanai LSC mandiri. Jika sebelum2nya para peserta mengandalkan donasi, anak2 ini justru mengandalkan bisnis riil dg cara berjualan madu. Kepada saya sore tadi mereka bercerita sudah keliling berjualan madu ke 2 sekolah. Madu seharga kisaran 50rb bisa mereka jual hingga 120ribu. Karena polos, mereka merasa bersalah menjual madu semahal itu. Katanya besok mau kita jual 100rb aja lah (podo wae, wes bathi 100% mas! Haha)
Amazing!!! 2 hari keliling berdagang madu, mereka sudah mengantongi 220rb.
Mohon doanya ya, selasa dan rabu hari terakhir jualan. Semoga lariisss maniissss… Aaamiin…

Lain cerita…
Seperti perkiraan, 2 anak SMA mengkeret karena ortu tidak acc dg alasan yang banyak sekali. Lalu mengalirlah training “cara meyakinkan ortu”
Ada seorang anak yang tetep ngebet ikut LSC #3. Maka kita sepakat, apapun yang terjadi, diizinkan atau tidak, uang tetap harus kita cari. Siapa tau hari h ortu ridho. Hehee…
Lalu dia bertanya, bagaimana cara cari uangnya. Belum juga saya menjawab (karena bingung juga), dia berkata.
“Aku mau jualan batu akik!”
Spontan saya ngakak tapi juga kasih jempol. Itu pasar yg bagus bgt untuk hari2 ginih.
Dia bercerita kalau ayahnya suka sekali dg batu akik dan banyak koleksi batuan yg sudah diasah. Lalu kita mulai petakan pasar. Saya membayangkan sepulang sekolah dia akan mangkal di sudut pasar dan dikerubungi banyak orang yang menawar batu akiknya. Hahaha… Ternyata saya salah. Dia lebih jago!!! Katanya via sms,
“Jualan via onlen lebih cepet lakunya mbak”
“Sok atuh, eksekusi sekarang juga!” kata saya
“siyaaap!”

Waaahhh hepiii sekali liat anak2 ini jiwa dagangnya keluar. Jujur, saya lebih senang anak2 berangkat LSC #3 dari hasil berdagang daripada hasil donasi. Beda rasa dan pengalamannya.
Tapi yah, kita musti paham juga, masing2 anak punya kelebihannya masing2.
Yang penting bikin mereka menikmati semua proses dan bisa mengambil pembelajaran sebanyak mungkin.

Dear kakak2 yg sholih dan sholihah, mohon doanya ya agar ortu2 mereka mengijinkan, sekolah mengijinkan, dan mereka dapet hasil jualan yang cukup untuk ikut LSC #3.

Teriring doa untukmu, nanda.
Semangat selalu, nikmati setiap proses betapapun kau harus ke sana kemari mengejar impian ikut LSC #3
Ini bukan sekedar ikut LSC #3 atau tidak, lebih dari itu, kau sedang belajar mengatakan apa maumu, keluar dari zona nyamanmu, dan meyakinkan orang lain bahwa apa yang kamu impikan adalah kebaikan. Kau sedang belajar menjadi pemimpin!

Salam cinta dari kami, segenap coach NRI 🙂 🙂 🙂

Bolehkah Saya Menyebutnya… Cinta….?

-sepotongDiary-
16 Maret 2015

@Maulina_N

Dalam episode perjalanan hidup kita, apa kira2 faktor terbesar yang membuat kita sampai saat ini berada dalam aktivitas dakwah?
Takdir?
Jelas!
Allah?
So pasti!
Kita di sini sekarang juga karena Allah dan takdirNya yang mengantarkan kita.
Akan tetapi, takdir Allah itu pasti selalu memuat sebuah sarana, bukan?

Masing2 so pasti punya jawabannya sendiri2. Dan bagi saya, sarana yang mengantarkan sekaligus menguatkan hingga sampai saat ini adalah…. teman.

Teman, sahabat, kawan, apapun namanya. Mereka yang pernah menghiasi hari-hari saya yang penuh makna.
Teman2 yang mungkin dari dulu saya hanya bisa melihat dari jauh, mengagumi mereka, dan membuat saya bermimpi someday saya bisa seperti mereka: berdakwah tanpa kenal lelah, menginfakkan sebagian hartanya, berpakaian yg syar’i.
Teman2 yang senantiasa mengingatkan kita pada pencipta alam dan seisi.
You know, kadang di sela aktivitas ketika SMA, tiba2 saya iri sekali dengan teman2 saya yg kebanyakan anak2 rohis. Pengorbanan, daya juang, hingga prestasi di sekolah yang gak bisa dianggap remeh. Lalu kemudian saya mojok, menyendiri, tergugu pilu. Menyesali kenapa saya gak bisa seperti mereka, si ini, si itu, si anu, yang mereka bisa begini begitu. Sementara saya masih banyak excuse karena takut, karena gak diijinin ortu, harus fokus belajar, dan lain-lain. Lalu muncullah harap pada Sang Pencipta,agar mengijinkan saya suatu hari nanti bisa seperti mereka.

Sekali dua kali tiba2 ingin mojok dan menyesali diri, lalu kemudian meluncur doa dan pengharapan.
Dari situlah saya memulai kebiasaan untuk mendoakan teman2 yg sudah menginspirasi saya. Mendoakan mereka agar tetap istiqomah dan berharap saya bisa meneladani mereka. Berdoa agar saya bisa dikumpulkan di surga Allah bersama merek meskipun saya harus mengejarnya tertatih…
😭

Teman, bagi saya adalah segalanya. Teman yang sholih dan sholihah tentunya. Teman yang selalu mengingatkan kita tentang Allah dan hakikat penciptaan manusia.
Bisa jadi kita punya banyak teman, bisa jadi kita lebih asik berteman dengan mereka yang berpikiran bebas, kreatif, meledak-ledak, dan gak alim2 banget. Tapi percayalah, sebaik-baik teman adalah mereka yang mau repot2 membangunkan kita sholat subuh dan menunggui kita untuk ikut sholat berjamaah. Mereka yang cerewet kalo kita mulai males datang ke kajian islam, atau mulai lebih senang deketan sama gebetan daripada bareng sama mereka melakukan hal2 positif yang bisa jadi membosankan. Sebaik-baik teman adalah mereka yang mau repot2 laporin kita ke ortu atau kakak kita kalo kita mulai eror sholatnya atau gak pernah berangkat mentoring. Kamu tau karena apa? Karena dia always ingin kita dekat dengan Pemilik Cinta.

Ah… satu per satu wajah mereka muncul T.T

Emm…
Bolehkah saya menyebut rasa ini dengan cinta?
Cinta yang membuat saya ingin bersama mereka setiap saat
Mereka yang membuat diri selalu malu karena belum bisa berbuat.

Emm..
Bolehkah saya menyebutnya cinta?
Mereka yang telah menghadirkan bulir2 air mata karena keteguhannya, pengorbanannya, dan kesabarannya menghadapi berbagai halang rintang kehidupan.
Mereka yang membuat diri semakin mengerti bahwa surga tak akan bisa dicapai hanya dengan berdiam diri.

Dan…
Bolehkah saya menamainya cinta?
Hingga saya bisa menyebut nama mereka satu per satu dalam doa, pintaku untuk mereka melebihi pintaku untuk diriku.

Ijinkan saya cinta,
selalu menghadirkan nama mereka dalam doa
Pun jika engkau taksepakat jika namamu kuganti dengan nama2 mereka.

Uhibbukum fillah
Inspiring People, semua yang pernah hadir dalam kehidupan, baik yang pernah bertatap muka, bertengkar, maupun yang hingga saat ini hanya bertemu 1-2 kali, atau bahkan hanya menyapa dalam hiruk pikuk sosial media.
Ijinkan saya menyebut kalian dengan cinta.
Cinta yang Allah berikan kepada saya sebagai salah satu hadiah terbesar dalam hidup ini.
Uhibbukum fillah…

(Sesaat) Dzikrul Maut

@Maulina_N

Bagi sebagian orang sakaratul maut adalah momentum langka yang dilihat atau bahkan bisa dibilang mengerikan. Tapi bagi profesi dokter dan perawat, terutama yang bekerja di ranah gawat darurat dan kritis, pemandangan ini menjadi hal yang sangat biasa. Saking biasanya sampai-sampai jika dibiarkan, kita bisa matirasa. No empati.

Kali ini sepertinya pengen ceritakan beberapa persepsi tentang kematian. Persepsi yang kita bangun tentang kematian. Persepsi yang orang lain pahami tentang kematian.  (serius)

Pernah tiba-tiba dihantui perasaan takut mati? Mengalami hampir setiap malam mimpi buruk tentang kematian atau lintasan-lintasan angan akan kematian mendadak yang menghiasi harian. Maka, sebagian respon orang adalah takut, jika tak bisa diatasi akan jadi depresi. Depresi ini akan melahirkan beberapa gejala kejiwaan seperti tidak fokus, yg tdnya ceria jd pendiam, insomnia dan gangguan tidur lainnya, mungkin gejala fisik seperti kaki lemas, badan menggigil, dan lain lain akan muncul (minta kelengkapan dr dr.zain bout ini, saya banyak lupa materinya. Hehe)
Rasanya? Tanya sama Tengku Firmansyah, yang gegara ini akhirnya memutuskan untuk cepat2 menikah. Takut mati duluan, tapi belom menikah katanya. Qeqeqe (eh, serius).

Kullu nafsin dzaa iqotul maut.
Setiap jiwa akan merasakan mati.
(Q.S. Ali Imron 185)
Mati itu pasti. Bukan pilihan. Aku memilih hidup selamanya, misalnya. Itu tak mungkin. Sunnatullahnya setiap jiwa akan merasakan mati.

Pasti.
Lalu, apa sebenarnya yang kita takutkan tentang kematian kalo ia adalah keniscayaan? (lama2 merinding sendiri bahas beginian T.T)

Bagi diri kita pribadi, jelas, kita sangat amat tau siapa kita. Seberapa amal kita, seberapa dosa kita. Layakkah menjemput kematian dengan cara yang indah? T.T
Betapa indahnya apabila rasa takut akan kematian kita imbangi dengan amal. Ia akan menjadi neraca yang mengubah takut menjadi dzikir. Mengingat kematian di manapun dan kapanpun, yang menjadikan diri lebih waspada dengan segala amal, mulai dari niat dan tatacara yang dilakukan.

Ah, siapa sih yang gak merinding dengan kematian?

Ada. Ada saja.
Seringnya menghadapi pasien dengan tahap terminal, melihat setiap proses sakaratul maut, kadang menjadikan hal ini biasa tanpa rasa. Bagaimana tidak tanpa rasa? Begitu sampai tempat kerja, langsung disambut perawatan jenazah dan pasien lain sedang kritis. Seringkali, proses pun bergantian. Pasien A selesai dibersihkan jenazahnya, pasien B membutuhkan tindakan cepat dan menysul pasien A, lalu lagi pasien C. Dalam 7 jam bisa 3-4 kali menangani hal yang sama. Jika rasa lebih dominan, bisa jadi tak bisa berbuat apa-apa.
Gawatnya, sekedar berucap “Innalillaahi wa inna ilaihi roji’un” pun lupa.
Di situ kadang saya merasa sedih. Setelah jenazah dibawa ambulans, baru tersadar kalau belum dzikrul maut.

Sekali lagi ini tentang persepsi kematian. Tentang siapa yang dibicarakan kematiannya, dan bagaimana akhir kematiannya.

Kullu nafsin dzaa iqotul maut.
Setiap jiwa akan merasakan mati.

Apa yang kita pikirkan tentang kematian?
Akankah ia berakhir indah dan penuh dengan senyum keikhlasan?
Sesiap apa kita menghadap Kekasih kita?
Akankah kematian kita akan penuh dengan cinta para malaikat dan orang-orang sholih?

Mari perbaiki persepsi kematian tentang diri kita.
Berempati dengan kematian layaknya ia juga akhir kehidupan yang nantinya akan kita jalani.

Semoga Allah ridho
Semoga Allah ridho
Semoga Allah ridho

…. dengan diri dan segala apa yang sudah kita usahakan
Serta mengantarkan kita pada akhir kehidupan yang baik

Aamiin

Go Dong iSPS®
10 Maret 2015

Faqidusy Sya’i Laa Yu’tihi Yang Tidak Punya Sesuatu, Tidak Bisa Memberikan Sesuatu.

@Maulina_N

Berasa keren nih, judul tulisannya pake bahasa Arab. Qiqiqi… Dan banyak yang tau lah klo itu cuma pencitraan aja biar judulnya mantep. Dapetnya juga dr sebuah diskusi pagi yang hangat di sebuah grup ttg tulisan saya tempo hari: Hadapi Saja Resikonya!

Di artikel ini, kita masih berbicara tentang aktivitas pembinaan kepemudaan khususnya pelajar,  tentang resiko yang dihadapi baik yang memutuskan untuk stay maupun memutuskan segera pergi. Di artikel lalu disebutkan, kalau stay, kita musti ambil resiko menciptakan banyak catatan kemenangan2 kecil sehingga kemenangan berbondong-bondong diraih. Kalaupun memilih out, pastikan ada warisan yang bisa kita tinggalkan.

Apa yang saya pikirkan tentang kemenangan yang berbondong-bondong dan atau warisan yang kita tinggalkan? Keduanya sama! Persis sama!

Kemenangan yang berbondong-bondong hanya bisa menjadi nyata kalau kita menciptakan banyak manusia yang menggerakkan (Inspiring People) dengan nilai-nilai yang juga menggerakkan (Inspiring Values). Artinya, saat kita memilih stay berkarya di sini, konsekuensinya lebih besaaarr lebih luaas.. Memastikan bahwa adanya kita tak memberikan penghalang yang lebih muda untuk berkarya, tetapi justru adanya kita bisa berkontribusi dengan cara menduplikasi diri sebanyak-banyaknya, jauh lebih banyak jika kita memilih out ataupun move dari “dunia ini”.

Meninggalkan warisan berarti meninggalkan satu atau beberapa duplikasi kita, minimal untuk melanjutkan perjuangan. Satu atau beberapa orang yang minimal sekualitas kita untuk mengembangkan dakwah ini lebih keren, lebih luas, dan menang! Bukan warisan mobil ataupun rumah semata. Itu mah bonus warisan saja! Coz kita tidak diperkenankan meninggalkan generasi yang lemah setelah kita. Catet ye! (perintah buat diri sendiri).

Akhirnya, sebenarnya, kita berbicara pada konteks yang lebih luas. Di manapun kita berada, janganlah sampai meninggalkan generasi yang lemah selepas kepergian kita. Maka, rumus anti aging yang sangat pas untuk hal ini adalah DUPLIKASI DIRI. Ujung-ujungnya pembinaan nukhbawi (istilahnye bener kagak nih). Ini yang always jadi jantungnya peradaban. Mau seperti apapun prestasi kita, se terkenal apapun, ujungnya tetap ditanyain: berapa inspiring people yang udah kita hasilkan selama ini? Inspiring People ini yang akan terus menjadi rujukan dan menjaga Inspiring Values yang kita bawa. Jika seorang musikus handal dia akan dikenang melalui karya-karya ciptannya. Maka sebagai seorang pengemban dakwah, apa yang akan kita tinggalkan selain kader-kader dakwah itu sendiri? (hlaa.. jadi serius beginih)

Inspiring People hanya bisa dihasilkan dari duplikasi diri melalui proses pembianaan. Ia tidak akan tumbuh begitu saja. Inspiring people butuh dilahirkan dan diciptakan dari sistem. Kalau sistem sudah ada, maka tugas kita untuk menjalankannya. Kalo sistem belom ada? Ah kata siapa belom ada? Ketahuan deh..kudetnya 😛

Pembinaan sebagai cara duplikasi diri adalah jurus anti aging yang paling manjur. Setidaknya ada 2 rumus anti aging, yakni Re-Generation (melahirkan sel-sel baru) dan Re-Juvenation (meremajakan sel-sel lama). Coba dikira-kira sendiri ya, mana yang masuk Re-Ge danana yang masuk Re-Juve. Praktiknya, banyak dinamika di lapangan yang menjadikan dua hal di atas tak sesederhana menulis di atas kertas. Masih butuh riset bout dua hal ini. Kalau ada yg udah sukses melakukan salah satu dr dua hal di atas didaerah masing2, kontak saya yah. Hehe…

Bek tu dze topik. Saya yakin sebagian orang tidak akan sepakat dengan bahasa duplikasi. Alasannya jelas, pembinaan itu pada dasarnya membina sesuai karakter orang yang kita bina. Gak bisa kita sama ratakan. Begitu, bukan? Bukan hal ini yang saya maksud dengan duplikasi. Bukan karakter khas nya. Akan tetapi, karakter rijal nya secara umum (aduh, bahasane…). Bisa dipahami kan?

Nah pertanyaannya, apakah setiap kita punya kriteria untuk diduplikasi? Apa yang mau kita duplikasikan? (Nah lho… Jawab!!!)

Berfikir tak pede? Berfikir tak pantas? Berfikir tak punya apa2 untuk diduplikasi?
FAQIDUSY SYA’I LAA YU’TIHI
Yang gak punya sesuatu, gak bisa ngasih sesuatu!
Itu judul tulisan kali ini.

Nancep gak tuh? (tralalaa… ).

Kalo kita berpikir tak pantas… kasihan tuh binaan2 kita yg udah rajin datang tiap kali diminta. Kalo kita sebagai pembina aja merasa tak ada yang bisa diduplikasi dari diri kita, tega bener kita nyuruh mereka dateng tiap pekan?

Maka, kepada 6 pelajar yang ikut TFT Nasyid pekan lalu, saya katakan kepada mereka,
“Kamu gak usah pusing mikirin kelebihan kita dibandingkan dengan adek2. Bisa jadi kita baca notasi masih eror, suara juga kadang fals, tapi catatlah baik-baik, bahwa bersedia menjadi coach nasyid itu gak cuma butuh skill. Tapi ia butuh semangat dan keberanian. Itulah kelebihan kita satu-satunya dibandingkan dengan binaan kita nantinya. Kita punya semangat pembelajar dan keberanian menembus rintangan!”

FAQIDUSY SYA’I LAA YU’TIHI
Yang gak punya sesuatu, gak bisa ngasih sesuatu!
Maka setidaknya kita masih punya sisa semangat yang membara dan keberanian menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan ini, pekerjaan yang tidak semua orang terpanggil hatinya. Itulah minimal hal yang bisa kita duplikasikan (pendapat gw aja sih).

FAQIDUSY SYA’I LAA YU’TIHI
Yang gak punya sesuatu, gak bisa ngasih sesuatu!
Itu sebenarnya sama aja dengan bertanya pada diri sendiri, apakah kita sudah layak disebut sebagai rijaalud dakwah sehingga patut menjadi teladan binaan-binaan kita? (cukup deh, sampai sini saya yang mewek bombay, tertohokkkkkk sangat amat dalam T.T hwaaaaa…)

Sebagai coda yang manis, saya nukilkan nasihat seorang abang ustadz yang mboiz abis (bagi yang gak apdet bahasa, mboiz means keren, kece, dan semacamnya).
“Sejatinya dakwah, tarbiyah dan jihad kita (bahasa serius) adalah jalan kita menuju atau mendekat kepada Allah. Egocentrism, kalo di artikel kemarin. Kita melewati jalan ini utk muroqobatullah…..mardhotillah.
Dan semangat itu juga yg mendorong kita utk mengajak dan membina, mengajak orang lain untuk sama2 mendekat kepada Allah.

Mak nyesss….. T.T

Tengkyu everybadeh, especially bang ustadz yang mboiz dan kawan2 di grup itu tuh…
Sejatinya yang saya tuliskan ini hampir semuanya hasil obrolan grup ditambah bumbu2 lebay dikit sesuai spesialisasi. Hehehe…
Si yu ol in de nex artikel.

Alhamdulillah…

HADAPI SAJA RESIKONYA!

Saya agak bingung bikin judul. Tapi ah, sudahlah. Semoga Anda yang membacanya mengerti dengan apa yg saya tuliskan nanti. Saya baru saja menyelesaikan Bab VII buku Self Driving karya Rhenald Kasali (jadi malu, buku ini sebulan dibaca belum tuntas juga. Hihi). Saya tak kuase meneruskan, karena terlalu banyak lintasan peristiwa yang berkelebat. Selalu saja begini jika mbaca buku pengembangan diri, mengaitkan dengan peristiwa dan apa yg dialami sebelum ini.  Khusus kali ini, saya teringat peristiwa-peristiwa yang begitu berarti selama 12 tahun mengabdi di pembinaan pelajar (aw, tiba-tiba saya terkejut dengan angka 12 tahun. It has been a long time ago).

Berada di etalase pembinaan pelajar memberikan banyak pembelajaran, mulai dari belajar menjadi orang yang peka terhadap rasa, belajar negoisasi dan all about organisasi, hingga belajar menjadi orang tua sekaligus teman yang mengasyikkan. Oke, sebagian orang mungkin mengatakan kalau saya gak bisa move on dari jalur ini. It’s no problem. Bagi saya dan mungkin beberapa teman, inilah panggilan hati. Inilah hal yang saat ini bisa dilakukan untuk menjadi kontribusi sekaligua pilihan spesialisasi. Alasan-alasan kami bisa jadi sangat egosentris dalam hal ini, seperti yang dituturkan seorang kawan ketika saya bertanya mengapa memilih bertahan di pembinaan pelajar. Jawabannya memang sangat pribadi. Beliau punya anak perempuan yang musti dijaga benar.

Aktivitas di pembinaan pelajar ini adalah cara untuk menjaga putri shalihatnya. Mengapa begitu? Menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh dan berkembang. Pun jika usia tak bisa lagi kompromi, berharap apa yang dilakukan saat ini adalah investasi kebaikan. You know what I mean, lah. Agak susah njelasinnya. Hehe.. Emm… Atau bahasa mudahnya create a friendly and healthy world buat anaknya. Gitu aja 🙂

Yayaya, egosentris, bukan?

Seegosentris apapun alasannya, nyatanya pilihan menjadi “pelayan” tunas bangsa bukannya tak mengandung resiko. Resiko yang paling umum pada awal2 tahun adalah menjadi the only one yang mau bertahan. Kadang karena alasan dapur yang harus tetap mengepul, amanah-amanah ini ditinggalkan tanpa meninggalkan warisan. Percaya atau tidak, dan saya selalu mewek bombay kalau ingat, ada saja orang yang “mengabaikan” jaminan mengepulnya dapur, mundur dari pekerjaan, “hanya” untuk bertahan di lahan gersang bernama lembaga pembinaan pelajar. Sang istri bertanya:
“Kalau tak bekerja, penghasilannya dari mana?”
Suami sholih itu menjawab:
“Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba yang berdakwah di jalanNya”
(Nah lho, kamu akhwat, kalo dapet suami begitu, bagaimana kira2 respon kamu? Qiqiqi. -Nanya diri sendiri-. Diminta rapat dan aktivitas sana sini aja alesannya sibuk ngerjain skripsi. Hihihi..)

Kini, 5 tahun hampir berlalu dan tak ada kekhawatiran apapun tentang kehidupan dan dapur, karena keluarga pejuang ini menjadikan Allah sebagai jaminan. Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hamba yang berjuang untuk agamaNya.

Jalan rezeki dan jalan dakwah bertahap ditunjukkan Allah. Di lembaga pembinaan pelajar tersebut, kini dua ratus hingga lima ratus pelajar ikut kajian keislaman setiap pekan, berkumpul dalam satu majelis ilmu, berbondong bondong, belum termasuk kajian-kajian khusus dan pembinaan minat bakat lain yang memang disediakan oleh lembaga pembinaan pelajar tersebut di berbagai belahan zona wilayah yang membentang luas. Hampir semua sekolah dan birokrasi pun percaya dengab kredibilitas lembaga ini.

Ah ya, tentang berbondong- bondong ini, saya jadi ingat nasihat seorang bang ustadz yang keren abisss tentang kemenangan (al fath) dalam Q.S. An Nashr yang diperoleh berupa berbondong-bondongnya manusia masuk ke dalam Agama Allah. Kemenangan yang seperti ini, kata beliau, bukanlah kemenangan yang diperoleh dengan sekali aksi. Tapi merupakan pertolongan Allah atas akumulasi dari berbagai a little success victory. Fatkhul Makkah adalah kemenangan puncak dari serangkaian kemenangan-kemenangan yang sebelumnya, termasuk kemenangan kaum musimin bersabar dalam menjalankan Perjanjian Hudaibiyah dan tetap yakin dengan janji Allah. Termasuk kemenangan kaum muslimin bertahan dalam keimanan mereka apapun resikonya.

Apapun resikonya.

Take a risk.

Adalah salah satu ciri driver. Betapa dalam dunia pembinaan pelajar, seringkali pertanyaan2 ini muncul: siapa yang akan menjadi tulang punggung dan menerima segala resikonya?

Kalau pertanyaan itu muncul, yang tadinya heroik ego nya pun muncul. Katanya sih dia musti move on dari “dunia ini” karena banyak yang lebih muda. Ketika ditanya mana penggantinya yang minimal setara, tiba-tiba sunyi senyap. Hellloo….
Di situlah kadang saya merasa sedih. 😥

Take a risk.
Kalau kamu mau bertahan di sini, ya bikin banyak prestasi biar kemenangan datang berbondong2.
Kalo kamu mau pergi dari “dunia gersang” ini, plis, tinggalin warisan. Rumah kek, atau mobil kek minimal, kalo kamu gak bisa hasilkan binaan pelajar yang minimal sama kayak kamu. Ini resiko.

Tak mudah memang menjadikan diri sebagai tameng, sebagai tulang punggung. Terlalu banyak resiko rasa, tenaga, hingga dana. Kalau hal ini mudah, banyak orang yang udah jadi pahlawan kelesss….

Last, apapun resikonya, kata Mbah Rhenald, hadapi saja. Resiko itu bukan untuk dihindari, tapi untuk dijinakkan.
Ukur resikonya, yakin bisa atasi, dan hadapilah!
Semua pilihan ada resikonya. Dan hanya jiwa2 yang menang yang bisa menjinakkan resiko2 tersebut.

Tulisan yang muter2 nggak karuan ini saya berikan khusus spesial untuk nyemangatin teman2 di penjuru nusantara, siapapun yang bergerak aktif peduli terhadap asset bangsa ini, pemuda!

Jodoh Pasti Bertemu… (singing)

Lagu Afghan yang satu itu entah mengapa selalu aja bikin kelepek-kelepek tak berdaya. Bukan hanya di lirik yg jadi coda nya saja, tapi yg utama penghayatan Afghan sewaktu menyanyikan lagu ini juga sangat memberi pengaruh dalam kesan lagu yang didapatkan. Oke, saya bukan mau membahas tentang Afghan dan lagunya yg kece-kece, tapi entah mengapa kali ini ingin membahas hal yang sangat sensitif bagi sebagian besar orang yang belum bertemu dengan jodohnya (ngomongnya seolah-olah gw udah ketemu sama jodoh gw sendiri.optimis gituh. Haha).

Dear Jones, (bukan Jomblo ngeNes, tapi Jomblo happiNes).
Kata ustadz di sebelah, masa kejayaan suatu kaum itu dipergilirkan. Jadi, kalo kamu belum bertemu jodohmu, anggep aja masa kejayaanmu belum datang. Meski masa kejayaan belum datang, bukan berarti masa mu kelam dan tak bisa berbuat apa2, bukan?
many things yg bisa kita lakukan.
Seenggaknya seorang kawan pernah berkata kepada saya kira2 begini.
“Wes kak, yakin aja. Jodoh udah diatur. Berkeluarga itu luar biasa tantangannya. Sekarang maksimalkan bisa berbuat apa untuk ummat”
Di lain kesempatan, sahabat ini berkata lagi.
“Gak usah khawatir ttg Jodoh, Kak. Dia datang sendiri atas izin Allah”
Dan terakhir saat bertemu kemarin, lagi2 doi nyeletuk (padahal gak pernah minta bahas bout ini juga.haha)
“Eh semoga dapet yg sama2 aktivis n ngertiin ya. Duh bener deh repot dobel klo gak sepemahaman ttg aktivitas yg sedang kita lakukan”
Saya cuma nyengir kuda aja.
Kalo diinget2, pasti setiap kali ketemu, ada aja wejangan bout jodoh dr sahabat yg satu ini. Hihi… Yg ngerasa… Makasih banyak ya. Pokoknya mak nyesss aja klo dapet nasihatnya.

Dear Jones,
Daripada meratapi masa berjaya mu yang tak kunjung tiba, lebih baik kita memantaskan diri, bukan?
Memantaskan diri untuk apa? Untuk dapat jodoh yang terbaik? Agar juga dapet yang terbaik?

Hemm.. Klo menurut saya kok jadi duniawi banget ya. Lagian jodoh yang bagi sebagian besar kita pahami sebagai yang tertulis di buku nikah, apakah benar memang yang terbaik untuk kita? Who knows? Yeaah…meskipun berharapnya sih gitu…
Jadi, memantaskan diri untuk apa?

Ini sekedar ide saja bagi para Jones,
Bahwa hidup hanya sekali dan amat singkat. Betapa rugi jika diri merasa merana hanya karena jodoh tak kunjung tiba. Tambah rugi kalo kita menggebu memantaskan diri hanya untuk mendapatkan seorang anak manusia yang juga alpa.
Lalu, lalu, memantaskan diri untuk apa? (penasaran, kan? Qeqeqe)

Memantaskan diri untuk bertemu dengan kekasih kekalmu! Allah azza wa Jalla.
Agar setiap kapanpun  Ia memanggil, kita sudah siap tampil cantik dengan qalbun saliim, hati yang selamat. Hanya hati yang selamat yang layak bertemu dengan Dia Pemilik Cinta.

Mari Jones,
Pantaskan diri, pantaskan diri bertemu Cinta Sejati.
Kalaupun lama bertemu jodoh di dunia, bolehlah senantiasa berdoa agar tetap menjadi penghulu para bidadari surga.
Jika pun panjang waktu menemukan belahan jiwa, jadilah ksatria yang telah dinanti 70 bidadari bermata jeli.

Aw aw aw… Mupeng bingits kan yak?
Terakhir, sekali lagi nasihat dari beberapa sahabat yg dirangkum jadi satu.
Percayalah, Allah itu Maha Romantis.
Semoga para Jones dimudahkan dan dilancarkan urusan ini- menggenapkan setengah dien.
Allah sedang menyiapkan seseorang yang luarr biasa untukmu.
Luruskan niat, tetap semangat, bekerja untuk ummat!

🙂
Salam untuk para sahabatku tercinta. Semoga Allah memuliakan kalian semua karena telah mencintaiku karenaNya.
Uhibbukum fillah.